Notification

×

Iklan

Iklan

Kala Penduduk RI Foya-Foya, Penduduk China Malah Males Belanja

Rabu, 12 Juli 2023 | Kali Dibaca Last Updated 2023-07-12T13:52:34Z
Advertisement
Pages/Halaman:
Marketplace
Maintenance
SAFAHAD Technology - Rumah tangga di China mulai menunjukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja.
Ilustrasi Kala Penduduk RI Foya-Foya, Penduduk China Malah Males Belanja
SAFAHAD Technology - Rumah tangga di China mulai menunjukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja. Istilah balance sheet recession memang dikeluarkan oleh Richard Koo melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990-an.

Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.

Hal ini terlihat dari belanja konsumen China yang mulai lesu. Laju inflasi China turun ke levelnol (year on year/yoy) pada Juni 2023. Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya perlemahan permintaan dan menambah kekhawatiran bahwa ancaman deflasi di depan mata.
Biro Statistik Nasional (NBS) China melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) tidak berubah pada Juni 2023 dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Sebagaimana diketahui, ekonomi China kini mulai melemah. Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi, memang ekonomi China tumbuh 4,5% (yoy) pada tiga bulan pertama tahun ini.

Secara kuartal, ekonomi China tumbuh 2,2% pada Januari-Maret 2023, jauh lebih tinggi dibandingkan 0,6% pada kuartal sebelumnya. Namun, indikator ekonomi penting lainnya menunjukkan data yang mengecewakan.
Seperti PMI, ancaman deflasi, angka pengangguran, ekspor-impor, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, Kondisi Ekonomi Jepang Saat Mengalami Balance Sheet Recession
Richard Koo menulis buku tentang balance sheet recession, atau gagasan bahwa tingkat utang yang besar dapat membebani pertumbuhan di masa depan selama bertahun-tahun dan bahkan beberapa dekade mendatang.

Sekarang, kepala ekonom Nomura Research Institute melihat risiko serupa muncul di China. Negara ini telah berjuang dengan tingkat utang yang sangat besar dan pertumbuhan ekonomi yang melambat setelah pandemi Covid-19.

Dalam episode ini, Koo membahas tanda-tanda yang dia lihat bahwa resesi neraca sudah berlangsung karena perusahaan China enggan meminjam lebih banyak uang untuk investasi masa depan. Dia juga menyarankan beberapa ide tentang apa yang harus dilakukan otoritas China tentang hal itu.

Kondisi Ekonomi Jepang Saat Mengalami Balance Sheet Recession
Jepang mengalami dekade yang hilang atau lost decade pada 1991 - 2001. Pada periode tersebut perekonomian Jepang stagnan. Pertumbuhannya rendah dan terkadang berkontraksi. Banyak banyak yang menyebut Jepang mengalami beberapa dekade yang hilang, sebab jika dilihat tren pertumbuhan ekonominya memang stagnan.

Sebelum mengalami krisis, sejak tahun 1960-an Jepang berhasil mencapai masa kejayaannya di mana pertumbuhan ekonomi sebesar 1-% per tahunnya dan mengubah basi perekonomiannya dari perekonomian agraris menjadi pengeskpor baja dan mobil terbesar di dunia hanya dalam 20 tahun. Olimpiade Tokyo 1964 dianggap sebagai salah satu Olimpiade tersukses dalam sejarah dan Jepang menjadi negara pertama di dunia yang berhasil mendorong pertumbuhan perekonomiannya secara pesat memanfaatkan pelaksanaan Olimpiade, diantaranya pembangunan sistem kereta api berkecepatan tinggi Shinkansen yang dibangun menjelang Olimpiade Tokyo.

Kemudian pada 1964, jalur kereta api Shinkansen Tokaido yang melayani rute Tokyo dan New Osaka mulai beroperasi dan merupakan sistem kereta api berkecepatan tinggi pertama di dunia yang beroperasi secara komersial.

Selanjutnya, The Plaza Accord
Selain itu real estate adalah bidang industri yang paling dipengaruhi oleh Olimpiade, pada tahun 1964, jumlah total bangunan tempat tinggal di Jepang meningkat sebesar 71% dibandingkan tahun 1951, dan nilai kontrak kontrak konstruksi masing-masing meningkat sebesar 32,9% dan 27,8% pada tahun 1963 dan 1964.

Masa keemasan Jepang ini tak lepas dari kualitas sumber daya manusianya. Saat itu, masyarakatnya hampir 100% melek huruf dan memiliki tingkat pendidikan yang cukup sehingga menjadi penopang perekonomian negaranya.

Saat itu, Tokyo dianggap sebagai kota metropolis internasional paling dinamis di dunia. Memasuki tahun 80-an, perekonomian Jepang telah mencapai masa kejayaannya yang mempesona. Produk buatan Jepang dapat ditemui di seluruh dunia, perusahaan Jepang melakukan sejumlah investasi besar dan akuisisi global.

Jepang menggantikan Amerika Serikat sebagai kreditur terbesar di dunia. Bank Amerika, supermarket, dan bahkan studio Hollywood dan bangunan ikonik di New York - Gedung Rockefeller, telah dikuasai oleh Jepang. Futuris Herman Kahn meramalkan dalam buku berjudul "upcoming super power" bahwa Jepang akan menjadi ekonomi utama di dunia pada tahun 2000.

Tetapi, pada tahun 1990-an, gelembung di pasar saham dan pasar properti Jepang pecah, yang menyebabkan ekonomi Jepang jatuh ke dalam "lost two decades" (dua dekade yang hilang) dari puncak kemakmurannya.

The Plaza Accord
Pada tahun 1978, krisis minyak kedua pecah yang menyebabkan kenaikan tajam harga minyak bumi, dan karenanya Amerika Serikat mengalami kenaikan inflasi yang serius. Pada musim panas 1979, Paul Volcker diangkat sebagai ketua Federal Reserve, untuk mengatasi inflasi, dia menaikkan tingkat suku bunga federal tiga kali dan menerapankan kebijakan moneter ketat.

Kebijakan tersebut akhirnya membuat tingkat bunga nominal pasar AS naik sekitar 20% dan menyebabkan apresiasi dolar yang tajam. Dari akhir 1979 hingga akhir 1984, nilai dolar naik nyaris 60% terhadap mata uang negara-negara besar lainnya, bahkan melebihi nilai sebelum runtuhnya sistem Bretton Woods.

Kemudian pada September 1985, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral Amerika Serikat, Jepang, Republik Federal Jerman, Prancis, Inggris mengadakan pertemuan di New York Plaza Hotel.

Pada akhirnya negara yang terlibat memutuskan untuk bersama-sama mengintervensi pasar valuta asing, yang ditujukan untuk mencegah keterpurukan AS lebih dalam dan untuk mengatasi defisit perdagangan AS yang sangat besar. Perjanjian ini dikenal sebagai "Plaza Accord".

Setelah penandatanganan "Plaza Accord", lima negara mulai menjual dolar di pasar valuta asing, yang mendorong penjualan dolar secara masif oleh investor lainnya.

Dolar terus terdepresiasi secara signifikan, sementara nilai tukar mata uang utama dunia terhadap dolar AS meningkat dalam berbagai tingkat, dengan apresiasi yen yang tertinggi, mencapai 86,1% dalam tiga tahun.

Selanjutnya, PMI Manufaktur China
Kemudian, Yen pun terapsesiasi tajam dalam sistem moneter internasional dan berkontribusi terhadap peningkatan investasi asing yang signifikan di Jepang. Sehigga memberikan peluang bagi perusahaan Jepang untuk berekspansi ke luar negeri. Namun pada saat yang sama, perekonomian Jepang juga menyimpan bom waktu yang bisa kapan saja meledak.

Pada tahun 1990, proporsi pinjaman kepada industri produktif di Jepang turun menjadi 25%, sedangkan proporsi pinjaman non produksi meningkat sebesar 37%. Tahun 1989, otoritas perbankan terlambat menyadari adanya gelembung ekonomi yang mengancam dan melakukan kebijakan moneter ketat.

Akhirnya bom waktu meledak, dimulai pada Mei 1989, bank sentral Jepang (BOJ) menaikkan tingkat suku bunga tiga kali berturut-turut, hanya dalam setahun, suku bunga BOJ naik dari 2,5% menjadi 6% menjelang Perang Teluk. Pada saat yang sama, dengan turunnya nilai tukar Yen, arus modal luar negeri mulai keluar. Pada tahun 1991, pasar properti Jepang mulai runtuh, gelembung besar dalam bidang properti mulai pecah, dimulai dari Tokyo lalu menyebar dengan cepat ke seluruh Jepang.

Tanah dan perumahan tidak bisa dijual, sebagian besar konstruksi diselesaikan tanpa ada orang yang tinggal dan harga properti runtuh seketika.

Dengan hancurnya harga properti, kebangkrutan bank kecil dan menengah, serta skandal perbankan, membuat orang Jepang kehilangan kepercayaan dengan pasar modal dan pasar properti. Setelahnya pasar properti Jepang tidak pernah bisa kembali ke masa kejayaannya.

Selanjutnya, Apakah Indonesia Bakal Mengalami Hal yang Sama?
Apakah Indonesia Bakal Mengalami Hal yang Sama?
Jika melihat kondisi Indonesia saat ini memang tidak separah kondisi di China dan semoga jangan terjadi. Namun, kelompok masyarakat dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta mulai mengurangi porsi tabungan dan mengalihkannya ke belanja. Belanja terkait leisure atau kesenangan seperti berlibur dan menonton konser pun melonjak.

Survei Bank Indonesia (BI) terkait Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan porsi konsumsi masyarakat dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta naik menjadi 70,9% pada Juni 2023. Porsi tersebut adalah yang tertinggi sejak Oktober 2022.

Mereka yang memiliki pengeluaran di atas Rp 5 juta adalah kelompok dengan pengeluaran terbesar dalam survei BI. Mereka masuk kelompok menengah ke atas. Porsi belanja di atas 70,5% pada kelompok pengeluaran di atas Rp 5 juta sangat jarang terjadi.

Pada periode Januari 2019- Juni 2023 atau lebih 4,5 tahun terakhir, hanya hanya dua kali kelompok pengeluaran di atas Rp 5 juta mengalokasikan porsi belanja di atas 70,5% yakni pada Oktober 2022 dan Juni 2023.

Sebaliknya, porsi tabungan kelompok dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta terus berkurang. Dari seluruh pendapatan mereka, sebanyak 16,4% dialokasikan untuk tabungan pada Juni 2023. Alokasi tersebut adalah yang terendah sejak Oktober 2022.

Porsi cicilan mereka juga berkurang menjadi 12,6% pada Juni tahun ini, lebih rendah dibandingkan pada Mei 2023 yang tercatat 12,8%.

Selanjutnya, Orang RI Malah Doyan Belanja Untuk Kesenangan
Orang RI Malah Doyan Belanja Untuk Kesenangan
Perilaku belanja masyarakat menengah ke atas Indonesia menjadi sorotan sejak pandemi Covid-19. Mereka lebih memilih menumpuk tabungan dan mengurangi porsi belanja. Seiring dengan pembukaan perbatasan banyak negara dan berkurangya penyebaran Covid-19, masyarakat menengah ke atas mulai menaikkan porsi belanja. Alokasi penghasilan untuk menabung kemudian turun drastis.

Pada awal Pandemi Covid-19 pada 2020 hingga 2022, porsi tabungan masyarakat dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta berkutat di angka 17-21%. Namun porsinya semakin turun hingga menyentuh 16,4% pada bulan lalu. Sebaliknya, porsi konsumsi yang semula hanya berkisar 65% pada awal pandemi kini mulai meningkat ke 70an%.

Mulai meningkatnya porsi konsumsi masyarakat menengah ke atas tentu menjadi kabar baik bagi ekonomi Indonesia. Dengan meningkatnya konsumsi maka sisi produksi diharapkan ikut naik sehingga pertumbuhan ekonomi makin tinggi.Besarnya porsi konsumsi masyarakat dengan pengeluaran Rp 5 juta dalam survei BI sejalan dengan data Mandiri Spending Index.

Frekuensi belanja masyarakat tercatat 349 pada Juni 2023, tertinggi sejak awal pandemi. Sementara itu, nilai belanja masyarakat yang sempat anjlok pada Mei 2023 mulai naik kembali hingga mencapai 158,9 pada Juni. Di sisi lain, libur sekolah dan dua kali libur panjang di Juni mendorong kenaikan belanja Juni.Tren kenaikan belanja di Juni terjadi di semua wilayah di mana mayoritas kelompok belanja mobility kembali meningkat.

"Peningkatan terutama untuk kelompok pemesanan tiket (travel, airlines), mengindikasikan meningkatnya aktivitas liburan sekolah dan perjalanan liburan long weekend di akhir Juni," tutur Head of MandiriInstitute Teguh Yudo Wicaksono, dalam laporannya Mandiri Institute: Consumer Spending Trend & Oulook 2023 Per 2 Juli 2023.

Selanjutnya, Salah satu leisure yang meningkat pasca pandemi adalah pembelian tiket konser
Yudo menambahkan beberapa belanja leisure seperti hobbies dan hotel meningkat pesat. "Selain itu, entertainment juga mulai meningkat, mengindikasikan masyarakat kembali melakukan aktivitas wisata pada libur sekolah dan long weekend akhir Juni," imbuh Yudo.

Data Mandiri Spending Index juga mencatat belanja transportasi dan airlines ada di level tertinggi sejak pandemi. Data tersebut juga mengungkap proporsi belanja fashion juga naik drastis menjadi 9,3% pada Juni dari 8,6% pada Mei.

Belanja makan di restoran meningkat menjadi 24,3% pada Juni 2023 dari 23,4% pada Mei. Belanja di supermarket melonjak menjadi 17,3% pada Juni dari 16,6% pada Mei. Sebaliknya, proporsi belanja untuk keperluan rumah tangga turun menjadi 8,3%pada Juni dari 8,6% pada Mei.

Salah satu leisure yang meningkat pasca pandemi adalah pembelian tiket konser. Dalam dua bulan terakhir, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan war tiket untuk Coldplay, Taylor Swift, One OK Rock, dan The Cors serta artis lainnya.[CNBC INDONESIA RESEARCH]

CLOSE